mengingat begitu banyak tugas anak - anak SMA dalam pembuatan makalah, maka penulis mesharingkan contoh makalah sebagai referensi. semoga dapat membantu.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa seperti sekarang ini pendidikan merupakan suatu kebutuhan primer, dimana dalam memasuki era globalisasi seperti sekarang ini pendidikan sangatlah penting peranannya. Orang-orang berlomba untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin untuk mengejar teknologi yang semakin canggih. Tetapi disisi lain ada sebagian masyarakat tidak dapat mengenyam pendidikan secara layak, baik dari strata tingkat dasar sampai jenjang yang lebih tinggi. Selain itu juga ada sebagian masyarakat yang sudah dapat mengenyam pendidikan dasar namun pada akhinya putus sekolah juga. Ada banyak faktor yang menyebabkan masyarakat tidak dapat mengenyam pendidikan atau yang putus sekolah seperti diantaranya keterbatasan adana pendidikan karena kesulitan ekonomi, kurangnya niat seseorang individu untuk mengenyam pendidikan, kurangnya fasilitas pendidikan di daerah terpencil atau daerah tertinggal dan selain itu karena adanya faktor lingkungan ( pergaulan ).
Seperti yang dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada salah satu butir yang tercantum disana dijelaskan bahwa adanya pencerdasan kehidupan bangsa, jadi bagaimna sekarang sikap pemerintah dan masyarakat harus dapat menyikapi hal tesebut, karena secara tidak langsung orang yang tidak menyenyam pendidikan formal akan dekat dengan kebodohan dan kemiskinan. Dampak kemiskinan itu terjadi karena daya nalar orang dan mental orang yang tidak perpendidikan sangatlah berbeda dengan orang yang berpendidikan. Jangankan untuk mencari atau melamar pekerjaan untuk membaca dan menulis saja mereka kesulitan. Dan dari sisi mental mereka yang tidak mengenyam pendidikan akan merasa malu dan minder untuk berkompetisi dengan orang yang mengenyam pendidikan. Pada akhirnya mereka akan tersisih karena ketrbatasan mereka tersebut.
Jadi secara garis besar pendidikan itu sangat penting untuk menunjang karir dan cita-cita di masa depan. Selain itu juga dapat merubah pola atau karakter hidup didalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini tidak lain agar para pembaca mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam dunia pendidikan saat sekarang ini. Sebab banyak masalah-masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan saat sekarang ini.
Disamping itu, agar para pembaca dapat menyadari bahwa pendidikan sangatlah penting guna menghadapi perkembangan zaman yang terjadi saat ini.
C. Rumusan Masalah
Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan di atas, bahwa pendidikan sangatlah penting guna menghadapi perkembangan zaman yang terjadi saat ini. Oleh karena itu, dapat kita ketahui beberapa masalah yang kini muncul antara lain :
1. Apa penyebab adanya anak yang putus sekolah ?
2. Apa kendala yang dihadapi orang tua yang pada umumnya yang bermukim di desa tertinggal yang berdampak pada terbatasnya daya jangkau pendidikan ?
3. Apa saja yang menjadi poin penting dalam upaya penanggulangan anak yang putus sekolah ?
4. Apa upaya pemerintah untuk menekan anak-anak yang putus sekolah ?
BAB II
ISI
A. Pembahasan Masalah
Untuk sedikit membuka kesadaran kita, ada baiknya kita mengetahui dan belajar dari Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang disertai dengan mengupas realita. Undang-undang mengatakan bahwa warga negara yang berumur 6 tahun berhak mengikuti pendidikan dasar. Sedangkan warga negara yang berumur 7 tahun berkewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara sampai tamat. Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 tahun yang diselenggarakan selama 6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP atau sederajat. Pasal 6 ( 1 ) disebutkan, setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, 2 ( a ) disebutkan, bahwa setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Seperti yang dijabarkan diatas , pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak. Hak yang wajib dipenuhi dengan kerjasama paling tidak dari orang tua siswa, lembaga pendidikan dan pemerintah. Pendidikan akan mampu terealisasi jika semua komponen yaitu orang tua, lembaga pendidikan dan pemerintah bersedia menunjang jalannya pendidikan.
Namun tidaklah mudah untuk merealisasikan pendidikan, khususnya menuntaskan wajb belajar 9 tahun. Banyak faktor yang menjadi kendala agar pendidikan dapat terealisasikan. Seperti misalnya saja dari faktor orang tua, tidak semua orang tua mau menyerahkan anaknya untuk bersekolah. Mayoritas dari mereka berasal dari keluarga kurang mampu sehingga tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan putra-putrinya di sekolah formal. Faktor yang lainnya yaitu faktor lembaga pendidikan yang menyediakan sarana dan prasarana pendidikan. Dengan menyediakan fasilitas yang memadai tentu akan menimbulkan adanya biaya. Beban inilah yang harus dibayar oleh orang tua. Tentu tidak mudah bagi para orang tua siswa yang tergolong ekonomi menengah ke bawah untuk membayar biaya tersebut.
Disamping itu, faktor dari pemerintah untuk mewujudkan pendidikan juga sangat berpengaruh. Pemerintahlah yang berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan ditambah dengan adanya bantuan dari berbagai pihak. Melalui program-programnya seharusnya pemerintah mampu memberdayakan semua elemen pendidikan. Misalnya program yang telah digulirkan pemerintah sebelumnya seperti Gerakan Orang Tua Asuh ( GN-OTA ) yang berdiri pada tanggal 29 Mei 1996 dimana berfungsi untuk meningkatkan kualitas anak sebagai aset penerus bangsa disamping meminimalkan kemiskinan secara komprehensif dan menyeluruh, juga memiliki misi mengembangkan dan meningkatkan kesadaran serta tanggung jawab masyarakat terhadap masa depan anak bangsa. Peranan GN-OTA ini dalam Prokesra MPMK dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah menuntaskan keluarga pra-sejahtera dan keluaraga sejahtera 1. Sedangkan yang kedua adalah pemberdayaan keluarga masa depan. Untuk memaksimalkan fungsinya diperlukan kerja keras untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa dari ancaman putus sekolah.
Namun kebijakan pemerintah melalui GN-OTA untuk mengatasi siswa yang tidak tertampung di sekolah masih jauh dari yang diharapkan sebelumnya. Walaupun pemerintah sudah mengeluarakan kebijakan ini, tetapi masalah anak yang putus sekolah tidak dapat diselesaikan juga. Program terbaru yang dikeluarkan untuk mengurangi masalah anak yang putus sekolah adalah BOS ( Bantuan Operasional Sekolah ). Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) ini adalah program bantuan pembiayaan pendidikan. Yangmana pemanfaatannya adalah untuk mengurangi biaya pendidikan yang dikeluarkan para siswa.
Walaupun pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan ini, tapi masalah yang dihadapi mengenai banyaknya anak yang putus sekolah takdapat diselesaikan juga. Di Bali sendiri, kebijakan ini sudah direalisasikan Sebelumnya Bali boleh berbangga karena belakangan ini mulai ikut berbicara di kancah ilmu pengetahuan melalui sejumlah keberhasilan yang diraih siswa sekolah. Misalnya dalam olimpiade fisika dan lainnya. Akan tetapi, itu tidak menghapus realitas bahwa Bali masih menyimpan angka putus sekolah walaupun kebijakan pemerintah mengenai dana Bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) sudah direalisasikan. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan ( Disdik ) Propinsi Bali, sekolah ( SD, SMP, SMA/SMK ) yang terdaftar di Bali tercatat sebanyak 3.184 sekolah yang tersebar. Berikut data sekolah yang tersebar di berbagai daerah di bali
Sedangkan data angka putus sekolah ( mulai jenjang pendidikan SD, SMP hingga SMA/SMK ) di Bali pada tahun 2005-2006 yang didapat dari Dinas Pendidikan ( Disdik ) Propinsi Bali mencapai 1.686 orang yang tersebar di berbagai daerah dibali. Sekalipun angka ini menurun dari tahun 2004-2005 yang tercatat 1.879 orang.
B. Penyelesaian Masalah
Persoalan putus sekolah di Bali cukup membuat kita miris. Data Dinas Pendidikan Propinsi Bali menyebutkan, ratusan ribu pelajar di Bali dihantui putus sekolah. Angka yang disebut adalah 1.686 anak usia sekolah usia antara 6-18 tahun. Mereka berasal dari keluarga miskin. Anak usia sekolah dari keluarga miskin inilah yang potensial hengkang dari bangku sekolah sebelum mengantongi ijazah. Hal ini disebabkan keluarga miskin tidak mampu membiayai pendidikan yang menurutnya memberatkan. Di samping itu, cara pandang yang kurang poisitif terhadap arti pendidikan bagi kehidupan masih terdapat pada beberapa keluarga dan masyarakat miskin yang pada umumnya berpendidikan rendah. Masih ada anggapan sementara penduduk bahwa pendidikan tidak akan menjamin perbaikan taraf hidup. Hal itu berakibat mereka enggan menyekolahkan anaknya. Di samping itu terdapat kenyataan bahwa akibat sosial ekonomi yang miskin akan mendorong anak usia sekolah SD dan SLTP terpaksa bekerja membantu kehidupan keluarga. Untuk daerah terpencil terhambat adanya perhubungan yang terbatas sehingga masyarakatnya sukar dijangkau pelayanan pendidikan.
Melihat tingginya angka putus sekolah tersebut pihak Dinas Pendidikan Propinsi Bali menggulirkan berbagai program strategis guna menekan angka pelajar putus sekolah tersebut serendah mungkin. Paling tidak program tersebut ditujukan untuk mengupayakan anak usia sekolah di Bali mengecap pendidikan formal hingga lulus SMP atau menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Di antara program strategis yang digulirkan untuk mencegah pelajar putus sekolah adalah pemberian beasiswa bagi anak miskin. Pasalnya, kemiskinan atau ketiadaan biaya merupakan faktor dominan yang menyebabkan ribuan pelajar di Bali ini putus sekolah. Program lainnya adalah dengan program SD-SMP satu atap. Dengan menjadikan SD dan SMP satu atap diharapkan akan dapat menanggulangi faktor jarak tempuh yang juga menjadi faktor penyebab putus sekolah. Dengan program ini biaya transportasi, pemondokan dan akomodasi menjadi terpotong, sehingga lebih menarik minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya. Anggaran untuk membangun ruang-ruang kelas baru pada sekolah satu atap ini pun sudah disiapkan. Pemprop Bali mengalokasikan anggaran Rp 2,47 milyar lebih untuk membangun ruang-ruang kelas baru di sekolah satu atap yang diprioritaskan pada daerah-daerah yang terisolasi.
Masyarakat, khususnya keluarga miskin, tentu mengharapkan program strategis pemerintah daerah di bidang pendidikan ini terealisasi secara ideal. Karena dengan demikian Bali sudah melakukan investasi SDM minimal yang berpendidikan dasar. Proses belajar-mengajar juga harus menjadi perhatian. Menciptakan proses belajar-mengajar yang nyaman dan lancar bagi siswa miskin memang tidak mudah. Intinya adalah harus ada kesadaran pembelajaran semua komponen yang terlibat di dalam proses pendidikan itu. Teristimewa guru dan manajemen sekolah disamping pemerintah. Merekalah ujung tombak yang dituntut memiliki visi dan orientasi lebih besar dalam ”kerja besar” menanggulangi masalah putus sekolah ini. Sedangkan masyarakat (orangtua murid) dan siswa terutama yang miskin adalah pihak yang harus dirangkul karena mereka berpotensi rentan hengkang dari program pendidikan ini dengan berbagai alasan.
Tumbuhnya kesadaran keluarga miskin untuk menyerahkan anaknya ke sekolah harus dilihat sebagai poin penting dalam upaya penanggulangan putus sekolah. Di balik itu harus disadari peliknya persoalan yang dihadapi masyarakat. Tidak hanya faktor kemiskinan, ekonomi dan biaya. Banyak sensitivitas lain yang perlu diselami, sebagai dampak dari kemiskinan itu. Rasa rendah diri, kemalasan, kurangnya wawasan soal pentingnya pendidikan, hambatan komunikasi dengan dunia sekolah, dan lain-lain, menuntut perhatian besar kita. Harus dilihat realitas di lapangan apa adanya. Di daerah yang masyarakatnya miskin atau kurang pemahaman soal pentingnya pendidikan, pekerjaan menuntaskan wajib belajar tentu tidak mudah. Jangan berharap input SDM yang secara mental siap dididik. Yang bebal pun harus diterima. Poin pentingnya adalah bagaimana menjadikan anak yang potensial terpinggirkan dari dunia sekolah menjadi terangkul dalam pendidikan. Bukan justru menjadikan potensi-potensi itu tambah terlempar, menjadi ketakutan sekolah dan memperbesar jumlah putus sekolah. Misalnya, akibat menjadi sasaran kemarahan dan cercaan guru sebagai anak bodoh, atau bahkan jadi sasaran penganiayaan pendidik yang kesal. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah, masalah putus sekolah dan buta aksara itu ternyata banyak bercokol di daerah-daerah dimana Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) itu berada. Aneh tapi nyata, SKB dengan berbagai program pemberdayaan melalui bidang pendidikan nonformal, ternyata sekaligus sebagai daerah yang menjadi kantong buta aksara. Padahal, sebagaimana diketahui, bahwa tugas pokok dan fungsi SKB itu diantaranya adalah (1) Pembangkitan dan penumbuhan kemauan belajar masyarakat, (2) Pembuatan percontohan berbagai program pendidikan nonformal , (3) Pengendalian mutu pelaksanaan program pendidikan nonformal, (4) Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi pelaksana pendidikan nonformal, (5) Penyediaan sarana dan fasilitas belajar, (6) Pengintegrasian dan pensinkronisasian kegiatan sektoral dalam bidang pendidikan nonformal yang melibatkan instansi terkait serta lembaga mitra.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa di wilayah kerja SKB masih menyimpan begitu banyak masyarakat yang masih bergelut dengan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, padahal disetiap tahun anggaran selalu diprogramkan aneka jenis pendidikan nonformal dengan dukungan dana yang memadai untuk memberdayakan masyarakat melalui pendidikan nonformal. Ada program keaksaraan fungsional dengan berbagai ketrampilan pendukung yang disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar, baik program rintisan, lanjutan maupun pemandirian. Program pendidikan kesetaraan, Program kecakapan hidup (life skills). Program PAUD, Program KWD dan KWK serta berbagai dan block grand lainnya yang jika digunakan sesuai aturan main, pastilah akan sangat besar manfaat yang bisa dirasakan secara langsung oleh sasaran didik. Namun sayang, semuanya masih jauh panggang dari api, artinya aturan main yang telah ditetapkan itu ternyata masih dimain-mainkan sesuai dengan kepentingan yang menyertai dibaliknya. Apalagi program pendidikan nonformal yang disusun itu masih sering tidak ada kelanjutannya terkait dengan pendanaan, sehingga yang terjadi adalah ketika selesai program, maka kelompok yang dengan susah payah dibina itu terpaksa ditelantarkan karena sibuk menyusun laporan sambil menunggu dana lanjutan, itu kalau ada. Kalau tidak ada, tamatlah riwayat kelompok binaan, dan inilah yang menyebabkan sasaran didik menjadi buta aksara kembali, bodo lagi dan miskin lagi karena tiadanya pembinaan serta dukungan dana yang memadai untuk keberlangsungan ‘usaha kelompok’.
C. Teori dan Penjelasan
Oleh: Robert Manurung
Setelah membaca Makalah ini, Anda pasti merasa sangat beruntung, dan mendapat alasan baru untuk mensyukuri kemujuran hidup Anda. Tapi sebaliknya Anda pun bisa dihinggapi rasa bersalah; prihatin dan cemas.
Tentu, kita semua sangat beruntung karena setidak-tidaknya telah menyelesaikan pendidikan SMA, bahkan sebagian besar di antara kita sudah bergelar sarjana. Bandingkanlah dengan nasib apes anak-anak di sekeliling kita; yang terpaksa putus sekolah karena orangtua tak mampu lagi membiayai; lalu menjalani hari-hari yang hampa dan menatap masa depan dengan rasa gamang.
Pernahkah Anda bayangkan bahwa jumlah anak putus sekolah di negeri tercinta ini ternyata sudah puluhan juta ? Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Jumlah itu pasti sudah bertambah lagi tahun ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk.
Ternyata, peningkatan jumlah anak putus sekolah di Indonesia sangat mengerikan. Lihatlah, pada tahun 2006 jumlahnya “masih” sekitar 9,7 juta anak; namun setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi 11,7 juta jiwa. Tidak ada keterangan dari Komnas PA apakah jumlah tersebut merupakan akumulasi data tahun sebelumnya, lalu ditambah dengan jumlah anak-anak yang baru saja putus sekolah. Tapi kalaupun jumlah itu bersifat kumulatif, tetap saja terasa sangat menyesakkan.
Bayangkan, gairah belajar 12 juta anak terpaksa dipadamkan. Dan 12 juta harapan yang melambung kini kandas di dataran realitas yang keras, seperti balon raksasa ditusuk secara kasar–kempes dalam sekejap. Ini bencana nasional dengan implikasi yang sangat luas, dan bahkan mengerikan!
Alangkah ironisnya jika fakta ini kita hubungkan dengan agenda nasional beberapa tahun lalu; betapa anak-anak itu dan orangtua mereka dibujuk dan dirayu melalui kampanye yang sangat masif di televisi; termasuk program populer Ayosekolah yang diprakarsai aktor Rano Karno; supaya mereka mau bersekolah. Tahu-tahu sekarang mereka harus meninggalkan bangku sekolah, dan menyaksikan pameran kemewahan di sekitarnya–yang dari hari ke hari semakin vulgar dan telanjang.
Anak-anak itu ada di sekitar kita. Mungkin beberapa di antaranya adalah anak tetangga Anda. Dan siapa tahu, salah seorang di antaranya masih kerabat Anda, tapi mungkin berada di tempat yang jauh. Yang pasti, mereka adalah tunas-tunas harapan bangsa yang besar ini
Apakah aku, Anda dan kita semua berhak untuk terus bersikap masa bodoh; berdalih bahwa itu adalah tanggungjawab pemerintah; lalu melanjutkan cara hidup kita yang boros dan selfish? Adakah yang bisa aku lakukan selain mewartakan bencana ini melalui blog ? Dan tidak adakah yang bisa Anda lakukan selain merasa prihatin sejenak, lalu meninggalkan komentar, kemudian mencari di blog lain artikel yang lebih menyenangkan dan menghibur hati Anda ?
PENDIDIKAN formal memang bukan segala-galanya. Beberapa pengusaha besar di Indonesia, misalnya konglomerat Liem Sioe Liong, cuma lulusan sekolah dasar. Tapi itu kasus yang istimewa. Dalam kenyataan yang umum, tingkat pendidikan berpengaruh mutlak terhadap peluang bekerja, posisi di bidang kerja, tingkat salary dan fasilitas yang dapat dinikmati; menentukan pula terhadap perilaku individu dalam rumah tangga, tanggung jawab sosial; dan mempengaruhi bobot independensi individu di bidang sosial-politik
Kita tidak usah menjadi ahli sosiologi kalau cuma untuk memahami konsekuensi logis dari bencana ini. Secara kasat mata saja kita sudah bisa melihat dampak langsung dari begitu besarnya angka putus sekolah di Indonesia. Pengamen cilik dan usia remaja kini bergentayangan di seluruh wilayah negeri ini. Tidak hanya di kota-kota besar, mereka hadir sampai di desa-desa dan menyebarkan kebisingan, gangguan dan kecemasan.
Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat SD tercatat 23 %. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %. Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77 %. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini tak kurang dari 8 juta orang.
Bayangkan, 8 juta remaja yang masih labil dan mencari identitas diri terpaksa putus sekolah; terpaksa meninggalkan teman-temannya yang masih terus bersekolah; dan terpaksa menelan kenyataan pahit sebagai manusia yang gagal dan tereliminasi. Ini problem sosial yang dahsyat!
Menurut Arist Merdeka Sirait, sebagaimana diberitakan surat kabar Kompas edisi Selasa (18/3),”Dampak ikutan, anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan di Jakarta juga akan terus bertambah. Setelah mereka putus sekolah tentu mereka akan berupaya membantu ekonomi keluarga dengan bekerja apa pun.”
“Bekerja apapun” adalah sebuah pesan yang sangat jelas, meski sengaja disampaikan secara samar. Artinya, dalam rangka stuggle for life atau demi melanjutkan gaya hidup yang terlanjur konsumtif; bisa saja mereka menjadi pedagang asongan, pengamen, pengemis, kuli panggul, pencopet, pedagang narkoba; atau menjadi pembantu rumah tangga, kawin di usia dini atau menjadi pelacur.
MENURUT catatan Komnas PA, pada tahun 2007 sekitar 155.965 anak Indonesia hidup di jalanan. Sementara pekerja di bawah umur sekitar 2,1 juta jiwa. Anak-anak tersebut sangat rawan menjadi sasaran perdagangan anak.
Bukan cuma itu. Anak-anak yang hidup di jalanan itu juga sangat potensial disalahgunakan oleh kejahatan yang terorganisasi. Tekanan untuk bertahan hidup dan godaan untuk hidup mewah adalah dua titik lemah para remaja yang masih labil itu; sehingga mereka bisa dibujuk dengan gampang untuk melakukan tindak kriminal.
Di Brazil, di antara jutaan anak yang hidup gentayangan di jalanan, sebagian sudah menjelma menjadi monster. Cukup diberi imbalan 100 dolar, anak-anak itu bisa disuruh membunuh orang atau jadi kurir narkoba. Mereka membuat kehidupan sehari-hari di kota-kota besar semacam Rio de Janeiro dan Sao Paulo bisa berubah menjadi horor, tanpa disangka-sangka. Warga pun jadi resah, dan pemerintah kota yang kurang panjang akal dan tidak bermoral kemudian merespon kepanikan masyarakat dengan jalan pintas : anak-anak itu ditembaki dan dibunuh secara massal– pada malam hari,. ketika mereka tertidur di taman-taman kota atau di emperan-emperan toko.
Jalan pintas dan cara-cara yang tidak manusiawi dalam menanggulangi problem urbanisasi—termasuk masalah anak-anak jalanan, kini sudah banyak dipraktekkan oleh sejumlah pemda di pulau Jawa. Baru-baru ini, aparat Polisi Pamongpraja Kotamadya Serang menciduk para gelandangan di malam hari, kemudian orang-orang yang malang itu diangkut dengan kendaraan dan dibuang di wilayah Kabupaten Pandeglang. Siapa sangka, tindakan biadab seperti itu bisa dilakukan oleh aparat pemerintah di sebuah negara yang berazaskan Pancasila, di sebuah provinsi yang berambisi menyaingi Aceh sebagai Serambi Mekah ?
Inilah potret buram dunia pendidikan Indonesia hari ini. Kalau ternyata Anda tiba-tiba diliputi rasa bersalah, prihatin dan cemas setelah melihat potret jelek itu, beryukurlah, ternyata Anda masih normal dan memiliki moral yang tinggi. Dan bersyukurlah, karena bukan Anda atau kerabat dekat Anda yang hari ini terpaksa putus sekolah, sementara pemerintahan SBY-JK masih saja nekad membuat rasionalisasi untuk mengecoh masyarakat—seolah-olah perekonomian nasional sudah pulih dan bangkit.
Percayalah, SBY-JK baru akan yakin bahwa ada masalah—sebenarnya lebih tepat disebut bencana nasional, kalau cucu mereka sendiri yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Mudah-mudahan itu tidak terjadi, karena kalau sampai terjadi kita tidak bakal sempat menyaksikannya, karena sudah keburu mati akibat kelaparan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan adanya keseriusan dan kesigapan dari pemerintah dengan cara mengeluarkan kebijakan-kebijakan seperti halnya kebijakan dana bantuan Operasional Sekolah ( BOS ) untuk mengurangi jumlah anak yang putus sekolah, maka angka anak yang putus sekolah di Bali akan dapat di tekan. Disamping itu peranan dari pihak sekolah beserta dengan orang tua dalam menekan jumlah anak yang putus sekolah juga sangat diperlukan dan berpengaruh akan jumlah anak yang akan putus sekkolah.
B. Saran
Sangat diperlukan sekali kesadaran dan kepedulian dari berbagai kalangan baik dari pemerintah, pihak sekolah maupun para orang tua. Dimana kesemuanya ( pemerintah, pihak sekolah, orang tua ) sangat berpengaruh terhadap jumlah anak yang akan putus sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Achlis, 1992, Praktek Pekerjaan Sosial I, STKS , Bandung
Gunarsa, Singgih D, 1988, Pendidikan 9 Tahun, Jakarta, BPK Gunung Mulya.
Kartini, Kartono,1986, Psikologi Sosial 2, Kenakalan Pelajar, Jakarta, Rajawali.
Soerjono Soekanto, 1988, Sosiologi Penyimpangan, Rajawali, Jakarta
Karnadi MPWK Undip . Permasalahan Pembangunan Prasarana Pendidikan. 10 Nopember 2007, 8:59:24
Marsudi Djojodipuro, 1992, Teori Lokasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
0 komentar:
Posting Komentar